Resistensi antibiotik merupakan salah satu ancaman kesehatan global terbesar saat ini. WHO telah menetapkan rekomendasi global yang komprehensif untuk menanggulangi AMR melalui strategi berbasis bukti, pendekatan multisektor, dan regulasi ketat. Namun, Indonesia tampaknya masih mengandalkan solusi semu dan parsial seperti mewajibkan resep untuk antibiotik, tanpa menangani akar masalah yang lebih dalam. Berikut ini ulasan rekomendasi WHO dan pelajaran yang dapat diterapkan di Indonesia.
1. Rekomendasi WHO untuk Pengendalian AMR
WHO merekomendasikan pendekatan menyeluruh dengan beberapa pilar utama:
a. Implementasi Pendekatan One Health
WHO mendorong kolaborasi lintas sektor, termasuk kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Pendekatan ini diperlukan karena resistensi antimikroba tidak hanya berasal dari penggunaan antibiotik di sektor medis, tetapi juga akibat penyalahgunaan di sektor peternakan dan pencemaran lingkungan.
b. Peningkatan Pengawasan dan Surveilans
Pengumpulan data yang kuat diperlukan untuk memantau pola resistensi antimikroba dan penggunaan antibiotik secara global. Sistem seperti Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) WHO bertujuan untuk meningkatkan kapasitas negara-negara dalam surveilans ini.
c. Penggunaan Antimikroba Berbasis Bukti
WHO merekomendasikan penggunaan antibiotik yang rasional, untuk memastikan antibiotik hanya digunakan jika diperlukan dan berbasis uji kultur bakteri dan adanya peta antibiogram.
d. Penguatan Kebijakan dan Regulasi
WHO menekankan pentingnya regulasi yang kuat dan komprehensif terhadap distribusi legal dan akses antibiotik di sarana kefarmasian untuk mencegah penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan antibiotik pada manusia, hewan dan pertanian
e. Edukasi dan Kesadaran Publik
Kampanye global untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan tentang bahaya resistensi antibiotik menjadi prioritas WHO.
f. Memberdayakan Pekerja Kesehatan
WHO merekomendasikan untuk menjadikan Apoteker sebagai gatekeeper untuk penggunaan antimikroba yang bertanggung jawab
2. Apa yang Terjadi di Indonesia?
Kelemahan Kebijakan Wajib Resep
Indonesia mewajibkan resep untuk antibiotik, tetapi kebijakan ini tidak efektif tanpa dukungan sistem yang kuat :
- Antibiotik Bebas Beredar : Antibiotik masih mudah diakses melalui toko obat, akses obat antibiotik melalui marketplace, dan diluar sarana kefarmasian.
- Minimnya uji kultur : Tidak adanya fasilitas kultur dan antibiogram yang memadai membuat terapi empiris menjadi norma, meningkatkan risiko resistensi.
- Regulasi Lemah: Kurangnya pengawasan yang efektif terhadap distribusi antibiotik membuat kebijakan menjadi tidak relevan, karena akses perolehannya diluar tenaga profesional yang berkompeten tetap terbuka.
- Pendekatan yang Tidak Terintegrasi
Indonesia belum mengimplementasikan pendekatan One Health secara penuh. Penyalahgunaan antibiotik di sektor peternakan dan dampak pencemaran lingkungan masih diabaikan.
- Antibiotik diwajibkan resep, namun resep antibiotik sangat minim di tebus pasien di sarana kefarmasian untuk dilakukan pelayanan keapotekeran. Integrasi menyeluruh untuk mencegah resistensi : kewajiban menulis resep antibiotik, kewajiban pasien menebus resep dan kewajiban antibiotik menggunakan resep dalam akses terapi dengan obat antibiotik di sarana kefarmasian, sarana kesehatan dan sarana peternakan.
3. Pelajaran dari Rekomendasi WHO untuk Indonesia
a. Membentuk Sistem Surveilans yang Kuat
Indonesia harus meningkatkan pengumpulan data tentang pola resistensi dan penggunaan antibiotik di semua sektor. Hal ini memerlukan investasi dalam infrastruktur kesehatan, tenaga kesehatan, teknologi kesehatan dan teknologi informasi.
b. Mengintegrasikan Pendekatan One Health
Kolaborasi antara sektor kesehatan, peternakan, dan lingkungan sangat penting. Regulasi ketat harus diterapkan pada penggunaan antibiotik di peternakan untuk mencegah transfer resistensi ke manusia.
c. Memperkuat Fungsi Apoteker
Apoteker harus diberdayakan sebagai penjaga utama distribusi antibiotik. Apoteker harus diberi kewenangan Profesional memastikan ketepatan indikasi penggunaan Antibiotik berbasis uji kultur dan peta antibiogram. Apoteker juga mengedukasi dan memonitor pasien untuk penggunaan antibiotik yang rasional. Apotek yang tidak disertai dengan praktik apoteker dalam memberikan pelayanan obat antibiotik, wajib dievaluasi keberadaan apoteknya.
d. Edukasi dan Kampanye Publik
Kampanye nasional tentang resistensi antibiotik harus dijalankan secara konsisten, menyeluruh dan tidak menyudutkan salah satu profesi serta mengistimewakan profesi lainnya. Edukasi masyarakat dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan serta tenaga medis dan profesi kesehatan bidang peternakan akan membantu mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak perlu.
e. Regulasi dan Pengawasan yang Ketat
Pemerintah harus menindak tegas distribusi antibiotik diluar sarana kefarmasian dan tanpa evaluasi Apoteker yang praktik serta memperketat pengawasannya pada jalur-jalur ilegal.
4. Kesimpulan: Belajar dari WHO, Bertindak untuk Indonesia
Rekomendasi WHO memberikan cetak biru yang jelas untuk mengatasi resistensi antimikroba, tetapi implementasi di Indonesia masih jauh dari ideal. Dengan hanya mengandalkan kebijakan wajib resep saja, Indonesia tidak menyentuh akar masalah, seperti lemahnya regulasi, kurangnya fasilitas pendukung, kebocoran jalur distribusi dan penyalahgunaan di sektor lain.
Jika Indonesia serius ingin mengatasi AMR, maka strategi yang lebih terintegrasi dan menyeluruh harus segera diterapkan. WHO telah memberikan panduan, dan sekarang adalah saatnya bagi Indonesia untuk bergerak dari sekadar membuat kebijakan ke tindakan nyata yang berdampak.