RI News – Memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-15 Kota Tangerang Selatan (Tangsel), belakangan muncul aksi unjuk rasa yang tergabung dalam aliansi yang mengatasnamakan ‘mahasiswa’. Mereka berjumlah kurang lebih dalam hitungan jari. Tak banyak? Ya bisa dibilang begitu.
Bermodalkan spanduk bekas kurang lebih berukuran 3×1 meter persegi dan cat pilok semprot untuk mengutarakan tuntutan-tuntutan yang mungkin masih jauh dari kata ‘relevan’ alias tidak tepat.
Kenapa demikian? Karena bahan tuntutan yang mereka dapatkan terkadang hanya sekedar isu mentah tanpa pendalaman riset yang mendalam. Sehingga, tuntutan yang diutarakan hanya seremonial semata asal eksistensi ada.
Bila kembali pada peran dan fungsi mahasiswa sebagai agen kontrol (agen of control) dan agen perubahan (agen of change) untuk rakyat, tampak belakangan aksi unjuk rasa yang terbilang mengkritik pemerintah dengan menyuarakan aspirasi di muka umum rasanya tak merepresentasikan rakyat.
Mahasiswa esensinya adalah calon pusaran peradaban keilmuan dan perubahan untuk masa yang akan datang. Esensi itu terwujud bilamana mahasiswa mampu mengaktualisasikan nilai yang terkandung dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian).
Mahasiswa, setiap pemikirannya berdasarkan khasanah literasi yang memadai sehingga pergerakannya dapat terarah dan tersistematis. Keputusannya pun harus didasari hasil observasi dan riset sehingga hasil yang didapat adalah objektif bukan subjektif. Bila keduanya telah diimplementasikan, maka itu semua layak untuk kepentingan publik sebagai wujud nilai pengabdian.
Kenyataannya tak sedikit, sekarang kondisi mahasiswa mengalami degradasi moral. Dimana setiap tindakannya didasari bukan lagi karena nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi melainkan kepentingan materialistik. Tidak ada proses keberlanjutan (rule of process) tapi hasil instans semata. Meski memang bukan seluruh mahasiswa seperti itu.
Pernah suatu ketika, mahasiswa ditanya soal tuntutan yang diorasikan, namun saat didiskusikannya mereka tak paham atas tuntutannya. Bila itu terjadi, lalu mereka ‘mahasiswa seperti itu’ agen seperti apa?
Sebut saja, seperti video aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh segelintir mahasiswa di Puspemkot Tangsel belakangan ini. Mereka gagah mendatangi kantor Walikota Tangsel dan berorasi menuntut sejumlah program kerja Pemkot Tangsel yang dinilainya gagal. Mereka menjustifikasi tanpa melakukan observasi dan riset mendalam.
Orasi keras lantang bak ingin seperti terlihat Bung Karno dan Bung Tomo, namun masih melihat tekstual (membaca) melalui handphone dan selembar kertas. Kecuali slogan kata ‘Hidup Mahasiswa’. Diksi kata menjadi kalimat yang digunakan pun masih tak teratur alias berantakan, apakah itu menandakan minim literasi? Silakan nilai sendiri!
Aksi belakangan ini terkadang ingin mencari sensasi semata. Tuntutan tak dipenuhi, membuat pergerakan hampir dibilang ‘anarkisme’ alias rusuh. Salah satu contoh mendorong paksa masuk ke kantor Walikota Tangsel dengan membenturkan diri ke aparat penjaga. Lalu berteriak, “hati-hati provokasi”. Yang memulai siapa dan yang dituduh siapa?
Malahan bila tuntutan tak diakomodir, pendemo mengancam akan melakukan aksi lanjutan atau berjilid-jilid. Bikin karya tulis tak bisa, demo berjilid tanpa data bisa., Itulah pendemo yang kekinian yang melabelkan diri sebagai mahasiswa.
Demo berjilid itu juga diketahui akan dilakukan kembali dalam Minggu ini. Dari selebaran poster yang dipasang status media sosial, lucunya terdapat tuntutan yang ditulis dalam poster itu yaitu mempersoalkan gedung salah satu dinas yang berkantor di hotel. Padahal, gedung itu bukanlah hotel melainkan gedung perkantoran yang bersebelahan dengan hotel.
Ironis! Ya bisa dibilang begitu. Data apa yang kalian kaji? Seberapa mengerti atas data itu? Apa yang kalian observasi? Duduklah pelajari peran dan fungsimu sebagai mahasiswa.
Kritik memang tak dilarang, demonstrasi pun memang tak dilarang juga. Namun, cara yang dilakukan untuk mewujudkan kepentingan sesaat dengan menggunakan nama rakyat itulah yang keliru. Maka itu, mahasiswa yang tak paham peran dan fungsinya tentu akan memanfaatkan label mahasiswa dan menjual intelektualnya untuk segelintir kepentingan sesaat. Ingat! Mahasiswa masa kini adalah cermin intelektual di masa mendatang.
Bila tulisan ini sampai kepada mahasiswa atau pendemo seperti uraian diatas, merenunglah! Jalani prosesmu dengan baik dan konsisten bukan instans. Pergerakanmu hari ini adalah reputasi di masa datang.
Mundur majunya, rusak bagusnya suatu bangsa ada padamu.
Salam Mahasiswa bukan Kaleng-kaleng
Penulis : Ikhsan Lubis, Aktifis Kebijakan Publik